Sabtu, 18 Juni 2011

MOTIF DAN SEJARAH DIBALIK MUNCULNYA HADITS MAUDHU’

Hadits maudhu’ atau hadits palsu muncul dan merebak ketika Islam diguncang ketegangan setelah Khalifah Utsman bin Affan dibunuh pada 35 H. sosok Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang memeluk Islam disebut-sebut sebagai biang kerok dari ketegangan di kalangan pemimpin dan umat Islam pada saat itu.
Abdullah bin Saba dan komplotannya menebar fitnah di berbagai kota Islam. Mereka menggulingkan sejumlah gubernur yang ditempatkan khalifah.
Namun, mereka gagal menggulingkan Muawiyah dari kursi Gubernur Syam karena posisinya begitu kuat. Suhu politik di dunia Islam semakin memanas ketika Khalifah Utsman bin Affan dibunuh. Menurut sebuah versi, Abdullah bin Saba’ terlibat dalam penbunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa, Abdullah bin Saba’ dan antek-anteknya yang berpura-pura mendukung Ali bin Abi Thalib mendesak agar Umayyah dicopot dari jabatannya sebagai gubernur. Ketegangan semakin meningkat ketika Muawiyyah mendesak Khalifah Ali untuk segera menghukum pelaku pambunuhan Khalifah Utsman.
Diceritakan pula bahwa Abdullah bin Saba’ menyebarkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang lebih layak menjadi khalifah disbanding Utsmanbin Affan, Abu Bakar Shiddiq, ataupun Umar bin Khattab.
Kelompok tersebut berpendapat bahwa Ali telah mendapat wasiat dari Nabi saw. Hadits palsu yang digaungkan oleh kelompok Abdullah bin Saba’ itu berbunyi, “Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya, dan penerima wasiatku adalah Ali.”
Pada masa itu, hadits palsu belum terlalu marak. Sebab masih banyak sahabat Rasulullah yang masih hidup. Mereka memahami secara pasti benar palsunya atau tidak sebuah hadits. Khalifah Utsman pun pernah mengusir Abdullah bin Saba’ dari Madinah karena telah membuat hadits palsu.
Hadits palsu merebak ketika di dunia Islam muncul kelompok-kelompok yang menuntut balas kematian Utsman, kelompok yang mendukung Ali, dan kelompok diluar keduanya. Setiap kelompok berlomba untuk eksis dan menunjukan kelebihannya dengan membuat hadits-hadits palsu.
Kondisi itu sempat membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib prihatin. Imam Adz-dzahabi meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: ‘Semoga Allah melaknat mereka (yaitu golongan putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadits-hadits Rasulullah’.”
Konflik politik di kalangan umat Islam yang semakin hebat telah membuka peluang bagi golongan tertentu yang mencoba mendekatkan diri dengan pemerintah dengan cara membuat hadits. Dalam buku Al-israiliyyat wal Maudhuat fi Kutubit Tafsir, diungkapkan bahwa pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadits-hadits palsu dibuat demi mengambil hati para khalifah.
Penyebaran hadits-hadits palsu pada zaman itu masih sedikit disbanding zaman-zaman berikutnya. Sebab pada masa itu masih banyak para tabi’in yang menjaga hadits-hadits Nabi saw. Berikut beberapa motif dibalik munculnya hadits-hadits palsu di dunia Islam:
1.    Motif politik dan kepemimpinan. Salah satu hadits palsu yang muncul dengan latar belakang politik antara lain, “Apabila melihat Muawiyyah diatas mimbarku, maka bunuhlah.”
2.    Motif untuk mengotori agama Islam (zindiq). Salah satu contoh haditsnya, antara lain, “Melihat muka yang cantik adalah ibadah.”
3.    Motif fanatisme. Contoh haditsnya, “Sesungguhnya  apabila Allah marah, maka menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan apabila tidak marah, menurunkannya dalam bahasa Parsi.”
4.    Motif faham-faham fiqih. Contoh haditsnya, “Barangsiapa mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, maka tidak sah shalatnya.” Atau hadits yang berbunyi, “Jibril mengimamiku di depan Ka’bah, dan mengeraskan bacaan bismillah.”
5.    Motif senang kepada kebaikan tetapi bodoh tentang agama. Salah satu haditsnya, “Barangsiapa menafkahkan setali untuk maulud-ku, maka aku akan menjadi penolongnya di hari akhir.”
6.    Motif menjilat pemimpin. Salah satu contohnya, Ghiyas bin Ibrahim an-Nakha’I al-Kufi pernah masuk ke istana Al-Mahdi, seorang penguasa Abbasiyyah yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya, “Coba terangkan kepada Amirul Mukminin tentang sesuatu hadits.” Maka Ghiyas berkata, “Tidak ada taruhan, melainkan pada anak panah, atau unta, atau kuda, atau burung.”

Menurut Prof Dr H Muhibbin, hadits palsu bisa muncul dalam kitab hadits shahih sekaliber Jami’ ash-shahih  karya Imam Bukhari. Berdasarkan hasil panalitian yang dilakukannya, terdapat hadits yang bertentangan dengan al-quran dan antarhadits dalam kitab tersebut.
Salah satu hadits palsu yang terdapat dalam kitab  itu antara lain tentang Isra’ mi’raj. Di dalam kitab itu disebutkan bahwa terjadinya Isra’ Mi’raj sebelum Muhammad menjadi nabi. Faktanya, Isra’ Mi’raj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi.
Ada pula hadits Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. Contohnya, tentang seseorang yang meninggal duniaakan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya (Kitab Jenazah, bab ke-32, hadits ke-648). Hadits itu bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain.



Dirangkum dari Harian Republika ahad, 15 Mei 2011 hlm B6-B7

CIRI CIRI HADITS PALSU

Secara bahasa, hadits berarti baru, tak lama, ucapan, pembicaraan atau cerita. Menurut para pakar hadits, hadits berarti segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad saw atau perkataan segala berita yang bersumber dari Nabi saw berupa ucapan, perbuatan, taqrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), serta deskripsi sifat-sifat Nabi saw.
Para ahli ushul fiqih mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw yang bersangkut paut dengan hukum. Lalu, apakah semua hadits yang ada di tengah-tengah umat Islam saat ini benar-benar berasal dari Rasulullah saw? Ooouw…… Ternyata, sebagian hadits yang biasa digunakan sebagai dasar pijakan dan dalil termasuk hadits lemah dan palsu!
Ada baiknya kita meneliti (atau sekedar cross check) kembali setiap hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan shahih. Berdasarkan penelitian Prof Dr H Muhibbin, dalam kitab  ﺼﺤﻴﺢ اﻠﺑﺨﺎﺮﻯ  ─ salah satu kitab hadits terbaik─ pun terdapat hadits-hadits lemah dan palsu.
Dari segi sanad (jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadits), hadits dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Yang dimaksud hadits dha’if adalah hadits lemah. Selain itu ada pula hadits palsu yang dikenal dengan hadits maudhu’.
Maudu’ atau palsu, berasal dari kata  وﺿوﻋ و وﺿﻌﺎ - يضعُ - وضع  (semoga cara nulisnya gak salah) yang berarti merendahkan, menjatuhkan, mengada-ada, menyandarkan, atau menempelkan, serta menghinakan. Maka, hadits maudu’ itu memiliki makna rendah dalam kedudukannya, jatuh tidak bisa diambil dasar hukum, diada-adakan oleh perawinya, serta disandarkan pada Nabi saw, sedangkan beliau tidak mengatakannya.
Para ulama hadits mendefinisikan hadits palsu sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun taqrir, tetapi disandarkan pada Rasulullas saw secara sengaja. Menurut Ensiklopedi Islam, hadits maudu’ memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Matan (teks) hadits tidak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi saw.
2.    Bertentangan dengan Alquran, akal, dan kenyataan.
3.    Rawinya dikenal sebagai pendusta.
4.    Pengakuan sendiri dari pembuat hadits palsu tersebut.
5.    Ada petunjuk bahwa diantara perawinya ada yang berdusta.
6.    Rawi menyangkal dirinya pernah member riwayat kepada orang yang membuat hadits palsu tersebut.
Menurut ahli ilmu hadits Prof. KH. Ali Mustafa Yakub, sebuah hadits dikatakan palsu apabila dalam sanadnya terdapat rawi (periwayat) yang terus terang dia mengaku memalsukan hadits, maka haditsnya menjadi palsu.
Selain itu, menurut beliau, jika perawinya pun berdusta, tetapi tidak diketahui ketika menyampaikan haditsnya palsu atau tidak, namun jelas dia pembohong, maka menjadi hadits makruh atau semipalsu. Kedudukan dan kualitasnya sama, yakni harus dibuang.
Hadits palsu ada tiga macam:
1.    Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah saw.
2.    Perkataan itu dari ahli hikmah atau orang zuhud atau israiliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadits.
3.    Perkataan yang tidak diinginkan rawi pemalsuannya, cuma dia keliru. Menurut para ahli hadits, jenis ketiga itu pun termasuk hadits maudu’, apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya.
Menurut Manna’ Al-Qathan dalam  Mabahis fi Ulumil Hadits, Hadits Maudu’ adalah hadits yang paling buruk dan jelek diantara hadits-hadits dhaif (lemah) lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri diantara pembagian hadits oleh para ulama yang terdiri dari shahih, hasan, dhaif, dan maudhu’. Maka, maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri.
Menurut KH. Ali Mustafa, hadits palsu sama sekali tak boleh digunakan, berbeda dengan hadits dhaif (lemah) yang masih bisa digunakan. Namun, tak semua hadits dhaif bisa digunakan.
Hadits dhaif bisa digunakan, kalau dhaifnya yang tidak terlalu parah. Yang parah itu, misalnya, hadits palsu, hadits makruh, dan hadits munkar. Hadits munkar itu periwayatannya pelaku maksiat.
Hadits palsu itu merupakan bagian dari hadits dhaif. Hadits palsu adalah hadits dhaif yang paling parah. Untuk memahami bahwa suatu hadits itu palsu atau tidak umat islam bisa mendeteksinya dengan tiga cara:
1.    Dengan metode pemahaman tekstual dan kontekstual. Misalnya tentang fatwa Nabi apakah pakaian Nabi itu kita diharuskan mengikuti seperti itu, termasuk sorban, misalnya. Orang yang memehami secara tekstual apa yang dipakai oleh Nabi harus kita ikuti. Tapi yang kontekstual tidak, karena itu budaya arab.
2.    Dengan menggabungkan riwayat-riwayat yang lain.
3.    Melalui metode kontroversialitas hadits.




Dirangkum dari Harian Republika ahad, 15 Mei 2011 hlm B6-B7