Sabtu, 18 Juni 2011

CIRI CIRI HADITS PALSU

Secara bahasa, hadits berarti baru, tak lama, ucapan, pembicaraan atau cerita. Menurut para pakar hadits, hadits berarti segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad saw atau perkataan segala berita yang bersumber dari Nabi saw berupa ucapan, perbuatan, taqrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), serta deskripsi sifat-sifat Nabi saw.
Para ahli ushul fiqih mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw yang bersangkut paut dengan hukum. Lalu, apakah semua hadits yang ada di tengah-tengah umat Islam saat ini benar-benar berasal dari Rasulullah saw? Ooouw…… Ternyata, sebagian hadits yang biasa digunakan sebagai dasar pijakan dan dalil termasuk hadits lemah dan palsu!
Ada baiknya kita meneliti (atau sekedar cross check) kembali setiap hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan shahih. Berdasarkan penelitian Prof Dr H Muhibbin, dalam kitab  ﺼﺤﻴﺢ اﻠﺑﺨﺎﺮﻯ  ─ salah satu kitab hadits terbaik─ pun terdapat hadits-hadits lemah dan palsu.
Dari segi sanad (jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadits), hadits dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Yang dimaksud hadits dha’if adalah hadits lemah. Selain itu ada pula hadits palsu yang dikenal dengan hadits maudhu’.
Maudu’ atau palsu, berasal dari kata  وﺿوﻋ و وﺿﻌﺎ - يضعُ - وضع  (semoga cara nulisnya gak salah) yang berarti merendahkan, menjatuhkan, mengada-ada, menyandarkan, atau menempelkan, serta menghinakan. Maka, hadits maudu’ itu memiliki makna rendah dalam kedudukannya, jatuh tidak bisa diambil dasar hukum, diada-adakan oleh perawinya, serta disandarkan pada Nabi saw, sedangkan beliau tidak mengatakannya.
Para ulama hadits mendefinisikan hadits palsu sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun taqrir, tetapi disandarkan pada Rasulullas saw secara sengaja. Menurut Ensiklopedi Islam, hadits maudu’ memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Matan (teks) hadits tidak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi saw.
2.    Bertentangan dengan Alquran, akal, dan kenyataan.
3.    Rawinya dikenal sebagai pendusta.
4.    Pengakuan sendiri dari pembuat hadits palsu tersebut.
5.    Ada petunjuk bahwa diantara perawinya ada yang berdusta.
6.    Rawi menyangkal dirinya pernah member riwayat kepada orang yang membuat hadits palsu tersebut.
Menurut ahli ilmu hadits Prof. KH. Ali Mustafa Yakub, sebuah hadits dikatakan palsu apabila dalam sanadnya terdapat rawi (periwayat) yang terus terang dia mengaku memalsukan hadits, maka haditsnya menjadi palsu.
Selain itu, menurut beliau, jika perawinya pun berdusta, tetapi tidak diketahui ketika menyampaikan haditsnya palsu atau tidak, namun jelas dia pembohong, maka menjadi hadits makruh atau semipalsu. Kedudukan dan kualitasnya sama, yakni harus dibuang.
Hadits palsu ada tiga macam:
1.    Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah saw.
2.    Perkataan itu dari ahli hikmah atau orang zuhud atau israiliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadits.
3.    Perkataan yang tidak diinginkan rawi pemalsuannya, cuma dia keliru. Menurut para ahli hadits, jenis ketiga itu pun termasuk hadits maudu’, apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya.
Menurut Manna’ Al-Qathan dalam  Mabahis fi Ulumil Hadits, Hadits Maudu’ adalah hadits yang paling buruk dan jelek diantara hadits-hadits dhaif (lemah) lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri diantara pembagian hadits oleh para ulama yang terdiri dari shahih, hasan, dhaif, dan maudhu’. Maka, maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri.
Menurut KH. Ali Mustafa, hadits palsu sama sekali tak boleh digunakan, berbeda dengan hadits dhaif (lemah) yang masih bisa digunakan. Namun, tak semua hadits dhaif bisa digunakan.
Hadits dhaif bisa digunakan, kalau dhaifnya yang tidak terlalu parah. Yang parah itu, misalnya, hadits palsu, hadits makruh, dan hadits munkar. Hadits munkar itu periwayatannya pelaku maksiat.
Hadits palsu itu merupakan bagian dari hadits dhaif. Hadits palsu adalah hadits dhaif yang paling parah. Untuk memahami bahwa suatu hadits itu palsu atau tidak umat islam bisa mendeteksinya dengan tiga cara:
1.    Dengan metode pemahaman tekstual dan kontekstual. Misalnya tentang fatwa Nabi apakah pakaian Nabi itu kita diharuskan mengikuti seperti itu, termasuk sorban, misalnya. Orang yang memehami secara tekstual apa yang dipakai oleh Nabi harus kita ikuti. Tapi yang kontekstual tidak, karena itu budaya arab.
2.    Dengan menggabungkan riwayat-riwayat yang lain.
3.    Melalui metode kontroversialitas hadits.




Dirangkum dari Harian Republika ahad, 15 Mei 2011 hlm B6-B7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar