Sabtu, 10 April 2010

unforgotable moment

lokasi PLKJ

lokasi PLKJ
P.C Padalarang

Daftar Pustaka Istitha'ah dalam nikah

DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Hafizh dkk
          2002. Ensiklopedi Islam. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.

Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir
          2009. Terjemah Subulus Salam jilid 2. Darus Sunnah. Jakarta.

Depertemen Agama.
         2002. Al-Qur’an Terjemah. PT Syamil Cipta Media. Bandung.

Hasan, Ahmad.
2001. Terjemah Bulughul Maram. CV. Diponegoro. Bandung.

Jumantoro, Totok.
1995. Kamus Ilmu Hadits. PT. Bumi Aksara.

Rahman, Fatchur
1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. PT. Alma’arif.

Suparta, MA. Drs., Djedjen Zainuddin.
2005. Fiqih MA. PT. Karya Toha Putra. Semarang.

Bab 3 paper Istitha'ah dalam nikah

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan-pemaparan yang sebelumnya telah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan yaitu, istitha’ah berarti kemampuan dan kesanggupan melakukan sesuatu. Akar katanya adalah طاع- يطوع- طوعا  yang berarti tunduk, patuh, dan taat.
Nikah secara bahasa (etimologi) berarti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama. Sedangkan definisi nikah secara syara’ adalah suatu akad yang mengarah kepada bolehnya jima’ dengan mengucapkan lafadz nikah.
Pernikahan dianggap sah apabila rukun nikah dan syarat-syaratnya telah terpenuhi. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
·        Calon istri, yang bukan merupakan mahram dari calon suami
·        Calon suami
·        Nikah harus dihadiri oleh minimal dua orang saksi
·        Wali, yaitu seseorang yang memiliki kekuasaan untuk mengakadnikahkan seorang perempuan yang ada dibawah perwaliannya.
·        Mahar (mas kawin)
Hadits yang telah dianalisa tersebut memiliki rowi yang siqoh, dan sifatnya saling menguatkan serta tidak bertentangan, terputus, atau bertolak belakang dengan Al-Qur’an atau hadits lain. Hadits ini termasuk ‘Hadits Marfu’ Muttasil’ karena bersambung sanadnya atau rowinya sampai ke Nabi Salallahu Alaihi wa Salam.
Hukum nikah bisa berubah-ubah secara kondisional. Jumhur ulama menetapkan ada lima, yaitu:
·        Sunnah, berdasarkan hadits Rasul
·        Mubah, jika orang tersebut tidak mempunyai faktor pendorong atau faktor yang melarang untuk menikah.
·        Wajib, jika orang tersebut secara jasmani dan rohani sudah layak untuk menikah serta mampu membiayai keluarganya. Dan bila ia tidak menikah, khawatir jatuh pada perbuatan zina.
·        Makruh, jika orang tersebut secara jasmani dan rohani sudah layak untuk menikah namun belum mampu secara finansial. Orang semacam ini dianjurkan untuk tidak menikah terlebih dahulu dan mengendalikan nafsunya dengan puasa.
·        Haram, jika orang tersebut menikah dengan maksud mendzalimi pasangannya. Pernikahan ini sah menurut syari’at jika terpenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi pernikahan seperti ini berdosa di hadapan Allah karena tujuannya buruk.


Bab 2 paper Istitha'ah dalam nikah

BAB II
ISTITHA’AH DALAM NIKAH

2.1. Pengertian Istitha’ah
Secara etimologis, istitha’ah berarti kemampuan dan kesanggupan melakukan sesuatu. Istilah ini sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu kemampuan untuk menunaikan ibadah haji dan kemampuan untuk menikah. Akar katanya adalah طاع- يطوع- طوعا  yang berarti tunduk, patuh, dan taat. (Ensiklopedi Islam, 2002 : 259-260)
Kata استطاعة sangat populer digunakan dalam kitab-kitab sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an, hadits, dan fiqih. Contohnya pada hadits riwayat Bukhari Muslim sebagai berikut:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai generasi muda, siapa diantara kamu telah mampu untuk menikah hendaknya ia nikah, karena nikah itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan jika ia belum mampu hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu dapat menjadi kendali (obat).
Dalam hadits tersebut terdapat kata  استطاعةyang dikaitkan dengan kata   الباءة . Terdapat perbedaan pendapat diantara sebagian ulama tentang makna kata الباءة, tetapi pada umumnya ulama berpendapat bahwa makna الباءة  berarti al-jima’ (bersetubuh). Selain dipahami sebagai kemampuan untuk bersetubuh, الباءة juga dipahami sebagai kemampuan untuk membiayai hidup berumah tangga dengan memiliki penghasilan yang tetap. Pemahaman ini didasarkan pada pengertian bahwa untuk menikah tidak cukup hanya mampu memberikan kebutuhan biologis kepada istri, tapi juga harus mampu memberikan kebutuhan material. Dari sini dipahami bahwa istitha’ah dalam hadits itu adalah kemampuan biologis dan material bagi pihak laki-laki.
Selain dari itu, kelayakan seseorang untuk menikah atau tidak berdasarkan hukum agama tidak hanya dari segi kemampuan biologis dan material tapi juga dilihat dari kesiapan mental berupa keinginan penuh dan keridhaan dirinya beserta pasangannya untuk menikah, karena hubungan pernikahan bukanlah semata-mata didasari oleh hubungan fisik dan materi, tapi juga emosi dan mental yang mana dalam kehidupan perkawinan memegang peranan yang sangat besar dibandingkan hanya dengan kemampuan fisik dan kecukupan harta. Kalaupun dipaksakan maka perkawinan itu akan memiliki kecenderungan menimbulkan mudharat padahal tujuan utama pernikahan adalah mencapai kemashlahatan.

2.2. Nikah dan Syarat-syaratnya
Nikah secara bahasa (etimologi) berarti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama. Sedangkan definisi nikah secara syara’ adalah suatu akad yang mengarah kepada bolehnya jima’ dengan mengucapkan lafadz nikah. Sementara itu para ulama fiqih menyatakan bahwa nikah adalah penyempurna iman seperti pada Sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Barangsiapa memberi karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah maka ia telah menyempurnakan iman.” (HR. Hakim, ia berkata: Shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh Adz-Dzahabi).
“Barangsiapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh iman, hendaklah ia menyempurnakan sisanya.” (HR. Ath-Thabrani dihasankan oleh Al Albani)
Dalam Pasal 1 Bab I, UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan/ pernikahan didefinisikan sebagai berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pernikahan dianggap sah apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi. Syarat nikah terdiri dari lima yaitu sebagai berikut:
2.2.1. Calon suami, dengan syarat sebagai berikut:
2.2.1.1.   Muslim
2.2.1.2.   Merdeka
2.2.1.3.   Berakal
2.2.1.4.   Adil
2.2.1.5.   Tidak beristri empat
2.2.1.6.   Tidak mempunyai hubungan mahram dengan dengan calon istri
2.2.1.7.   Tidak sedang berihram haji atau umrah
2.2.2.      Calon istri, dengan syarat sebagai berikut:
2.2.2.1.   Muslimah
2.2.2.2.   Telah mendapat izin dari walinya
2.2.2.3.   Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah
2.2.2.4.   Tidak mempunyai hubungan mahram dengan dengan calon suami
2.2.2.5.   Tidak sedang berihram haji atau umrah
2.2.3.      Wali calon pengantin perempuan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
2.2.3.1. Muslim
2.2.3.2. Berakal
2.2.3.3. Tidak fasik
2.2.3.4. Laki-laki
2.2.3.5. Mempunyai hak untuk menjadi wali
2.2.4.      Dua orang saksi, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
2.2.4.1. Muslim
2.2.4.2. Baligh
2.2.4.3. Berakal
2.2.4.4. Merdeka
2.2.4.5. Laki-laki
2.2.4.6. Adil
2.2.4.7. Pendengaran dan penglihatannya sempurna
2.2.4.8. Memahami bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul
2.2.4.9. Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah
2.2.5.      Mahar

2.3. Rukun nikah
Adapun rukun nikah adalah adanya Shigat (ijab dan qabul), dengan syarat-syarat sebagai berikut:
2.3.1.   Lafadz ijab dan qabul harus lafadz nikah atau tazwij
2.3.2.   Lafadz ijab dan qabul bukan kata-kaat kinayah (kiasan)
2.3.3.   Lafadz ijab dan qabul tidak dita’likkan (dikaitkan) dengan suatu syarat tertentu, seperti: “Aku nikahkan engkau dengan syarat engkau segera membangun rumah…”
2.3.4.   Lafadz ijab dan qabul harus terjadi pada satu majelis. Maksudnya lafadz qabul harus segera diucapkan setelah ijab.
                                                                                                         
2.4. Analisa Hadits
Hadits Bukhari :
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ بِمِنًى فَقَالَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً فَخَلَوَا فَقَالَ عُثْمَانُ هَلْ لَكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي أَنْ نُزَوِّجَكَ بِكْرًا تُذَكِّرُكَ مَا كُنْتَ تَعْهَدُ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُ اللَّهِ أَنْ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ إِلَى هَذَا أَشَارَ إِلَيَّ فَقَالَ يَا عَلْقَمَةُ فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَقُولُ أَمَا لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Hadits Muslim :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ جَمِيعًا عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بِمِنًى فَلَقِيَهُ عُثْمَانُ فَقَامَ مَعَهُ يُحَدِّثُهُ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَلَا نُزَوِّجُكَ جَارِيَةً شَابَّةً لَعَلَّهَا تُذَكِّرُكَ بَعْضَ مَا مَضَى مِنْ زَمَانِكَ قَالَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَئِنْ قُلْتَ ذَاكَ لَقَدْ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ إِنِّي لَأَمْشِي مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ بِمِنًى إِذْ لَقِيَهُ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَقَالَ هَلُمَّ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ فَاسْتَخْلَاهُ فَلَمَّا رَأَى عَبْدُ اللَّهِ أَنْ لَيْسَتْ لَهُ حَاجَةٌ قَالَ قَالَ لِي تَعَالَ يَا عَلْقَمَةُ قَالَ فَجِئْتُ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ أَلَا نُزَوِّجُكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ جَارِيَةً بِكْرًا لَعَلَّهُ يَرْجِعُ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ مَا كُنْتَ تَعْهَدُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَئِنْ قُلْتَ ذَاكَ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ

2.4.1. Analisa Rijalul Hadits
Dari kedua hadits diatas terdapat beberapa rowi yang harus diketahui seluk beluknya agar kita dapat menentukan kedudukan hadits tersebut. Dari hadits Bukhari dan hadits Muslim tersebut dapat dibentuk tabel seperti berikut:
   
2.4.2. Analisa Matnul Hadits
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai generasi muda, siapa diantara kamu telah mampu untuk menikah hendaknya ia nikah, karena nikah itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan jika ia belum mampu hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu dapat menjadi kendali (obat).”       
Menikah dalam teks hadits ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, atau mungkin kesiapan tertentu, dia tidak dikenai anjuran menikah. Dalam komentar Ibnu Hajar terhadap teks hadits ini, orang yang tidak mampu menikah justru disarankan untuk tidak menikah, bahkan bisa jadi menikah itu baginya menjadi makruh. Dalam bahasa fiqih, menikah tidak selalu dihukumi sunnah, sekalipun disebutkan dalam teks hadits di atas sebagai sesuatu yang sunnah. Menikah banyak dikaitkan dengan kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan nafkah atau jaminan kesejahteraan.           
2.4.3. Istinbat Hukum
Sebagaimana hukum lainnya yang berlaku pada manusia maka hukum nikah pun bisa berubah secara kondisional. Nikah hukumnya menjadi wajib apabila seseorang bernadzar untuk menikah, selain itu juga ia wajib untuk menikah apabila sudah  memiliki kesiapan mental, fisik dan materi serta takut terjerumus pada perbuatan zina. Sementara bila seseorang memiliki hasrat untuk berjima’ dan memiliki keinginan untuk menikah tapi tidak memiliki kemampuan maka lebih utama jika ia tidak menikah selama ia mampu menahan diri untuk tidak berzina. Hukum nikah juga berubah menjadi menjadi makruh pada seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan tidak pula memiliki keinginan untuk menikah serta tidak memiliki kecenderungan untuk berbuat zina. Walaupun secara fisik, psikis, maupun usia telah dianggap pantas untuk menikah. Hukum nikah juga bisa jatuh menjadi haram apabila niat salah satu pihak atau pihak ketiga yang menikahkan atau memaksa mereka untuk menikah cenderung pada upaya untuk mencelakakan atau mendzalimi pasangannya.
Hadits yang juga riwayat Imam Bukhari yaitu Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, berkata: “Ada tiga orang mendatangi keluarga Nabi Muhammad SAW. Mereka bertanya tentang ibadah yang dilakukan Nabi. Ketika diberitahu, mereka merasa sangat jauh dari apa yang dilakukan oleh Nabi. Mereka berkata: “Kami jauh sekali dari apa yang dilakukan Nabi, padahal beliau sudah diampuni dari segala dosa”. Satu orang dari mereka berkata: “Kalau begitu saya akan shalat sepanjang malam selamanya”. Yang lain berkata: “Saya akan berpuasa setahun penuh selamanya”. Orang ketiga berkata: “Saya akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah”. Kemudian Rasulullah SAW datang dan berkata: “Apakah kamu yang berkata ini dan itu tadi? Demi Allah akulah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa diantara kamu, tetapi aku tetap kadang berpuasa dan kadang tidak puasa, ada waktu untuk shalat dan ada waktu untuk tidur istirahat, dan aku juga menikah dengan perempuan. Siapa yang enggan dengan sunahku, ia tidak termasuk golongan ummatku”.
 Dalam hadits ini, perkawinan tidak menjadi satu-satunya yang disebut sebagai sunnah. Tapi juga makan, tidur berpuasa, serta tentu menikah. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani  menyatakan bahwa yang dimaksud ‘sunnah’ adalah jalan yang biasa dilakukan Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, pernyataan Nabi ‘tidak termasuk golonganku’ bagi yang tidak menikah, tidak serta merta mengeluarkan seseorang dari agama Islam, hanya karena ia menolak atau memilih untuk tidak menikah. Jika penolakan atau pilihannya itu karena alasan yang pantas diajukan. Lain halnya jika penolakannya itu memang berangkat dari prinsip dan keyakinan ketidakbenaran menikah, maka hal itu bisa dianggap keluar dari agama Islam.
Sekalipun dalam hadits diatas menikah dinilai sebagai sunnah, tetapi dalam kajian fiqih, menikah tidak menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang memilih untuk tidak menikah, karena tidak merasa berhasrat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu. Ada banyak argumentasi dalam hal ini. Setidaknya hadits ini mengaitkan pernikahan dengan kemampuan, dan pembukaan peluang bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa sebagai ganti dari anjuran menikah. Ketika pernikahan dikaitkan dengan kemampuan, berarti ia tidak menjadi pilihan satu-satunya, karena pasti ada kondisi dimana seseorang tidak merasa mampu untuk menikah, sehingga ia memilih untuk tidak menikah. Bahkan teks hadits diatas menyebutkan pilihan selain menikah adalah berpuasa.

Bab 1 paper Istitha'ah dalam nikah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin yang bersifat menyeluruh, mengatur seluruh aspek kehidupan mulai dari hal terkecil sampai hal yang terbesar, serta tidak memberatkan umatnya. Islam termasuk agama samawi yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Islam memiliki sumber hukum, yaitu Firman Allah yang menjadi rujukan umat Islam diseluruh dunia sepanjang zaman. Selain Firman Allah, Islam juga mempunyai sumber rujukan kedua, yaitu Sunnah Rasul.
Dalam kedua sumber hukum tersebut diperintahkan kepada umat manusia agar beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ                                                   
Artinya:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat:56)
Ibadah merupakan tugas hidup di dunia yang mesti dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan dilandasi dengan keimanan. Salah satu bentuk ibadah manusia pada Rabb-Nya ialah dengan menjalankan sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Allah SWT yaitu pernikahan.
Pernikahan merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah dari zaman ke zaman karena dengan pernikahan dapat membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan. Hal ini merupakan fitrah yang telah Allah berikan kepada manusia.
Allah berfirman:
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ  
Artinya:
 “ Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaraan Allah).”(Q.S Adz-Dzariyaat:49)
Dalam hal ini banyak orang salah kaprah dalam memahami hukum nikah serta mengabaikan sisi kesanggupan dan kesiapan dalam menjalankan pernikahan.
Bertitik tolak dari permasalahan, untuk itu penulis akan mengangkat permasalahan dengan judul “ISTITHA’AH DALAM NIKAH” yang pada akhirnya karya tulis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dalam menempuh ujian di Pesantren Persatuan Islam 67 Benda Tasikmalaya.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskannya dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan Istitha’ah?
1.2.2. Apa pengertian nikah?
1.2.3. Apa syarat-syarat nikah?
1.2.4. Bagaimana analisa haditsnya?
1.2.5. Apa yang dimaksud ‘Istitha’ah dalam hadits tersebut?

1.3.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.3.1. Untuk mengetahui maksud dari Istitha’ah
1.3.2. Untuk mengetahui pengertian nikah
1.3.3. Untuk mengetahui syarat-syarat nikah
1.3.4. Untuk mengetahui analisa haditsnya
1.3.5. Untuk mengetahui maksud ‘Istitha’ah’ dalam hadits tersebut?

1.4. Metode Penulisan
Dalam penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama          : Mengumpulkan bahan-bahan
Langkah kedua : Mengklasifikasikan data atau bahan
Langkah ketiga : Membahas dan menganalisa bahan
Langkah keempat         : Menyimpulkan